Diheningkan malam oleh cahaya temaram kota, aku berdiri di antara riuh yang tak pernah benar-benar hening. Manusia berjalan, tertawa, berbicara, seolah diarahkan oleh sesuatu yang tak terlihat. Mereka menyebutnya rutinitas, atau mungkin takdir yang menyamar sebagai kebiasaan.
Langkah-langkah mereka terukur, seakan digerakkan oleh garis tak kasat mata—menuju tempat yang tak benar-benar mereka pilih, tapi mereka yakini sebagai kehendak. Mereka tak tahu, atau tak ingin tahu, bahwa kehendak bisa jadi hanyalah bayangan yang dibentuk oleh tuntutan.
Kita semua memainkan peran yang diberikan entah oleh siapa. Ada yang menjadi pemeran utama dalam hidup yang tak pernah mereka tulis naskahnya sendiri. Ada pula yang hanya figuran dalam kisah orang lain, berjalan cepat agar tak terlihat terlalu lama.
Dan ketika kecewa datang, ketika harapan yang dibangun dari ilusi tak jadi kenyataan, siapa yang akan menoleh? Di tengah ribuan tatapan yang sibuk mencari tujuan masing-masing, adakah sepasang mata yang benar-benar melihat luka yang tak terlihat?
Manusia terlalu sibuk merawat luka dirinya sendiri, hingga lupa bahwa orang di sampingnya mungkin sedang berdarah dalam diam. Kita hidup dalam kerumunan, tapi tak pernah benar-benar bersama.
Mungkin, kepedulian itu tak hilang—hanya terkubur di balik tembok pertahanan yang kita bangun sendiri, agar tak lagi tersakiti oleh dunia yang terus berjalan tanpa menunggu siapa pun.
Dan malam pun tetap diam. Ia menjadi satu-satunya saksi bahwa di balik tawa, kadang tersembunyi air mata. Di balik gerak, kadang terselip kelelahan jiwa. Di balik keramaian, sunyi itu berbisik,
“Adakah yang sungguh peduli?”
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]
