Notification

×

Kategori Tulisan

Cari Tulisan/Kata/Judul

Iklan

Iklan

#faarsyam

DUNIA HANYA SEMENTARA, KENAPA KAU KEJAR??

Sabtu, 28 Juni 2025 | Juni 28, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-28T14:15:26Z

“Kalau dunia ini cuma sementara, kenapa banyak orang hidup seperti mau menetap selamanya?”

Pertanyaan ini mengendap dalam kepala saya, muncul tiba-tiba, seperti iklan skincare di tengah video ceramah. Mengganggu tapi menggugah. Dunia ini memang hanya persinggahan, tapi kenapa banyak yang begitu bernafsu memperjuangkan hal yang jelas-jelas keliru? Bahkan, tak jarang orang mengorbankan apa yang paling berharga demi ambisi yang seharusnya malu-malu muncul dalam hati.

Teman dikhianati. Saudara dijual. Orang tua dicampakkan. Semua demi kekuasaan, harta, popularitas, atau sekadar ingin dianggap "sukses".

Ironisnya, sebagian pelakunya tahu bahwa yang mereka lakukan itu salah. Tapi mereka tetap maju, penuh keyakinan palsu. Alasannya?
“Sudah takdir.”
“Persaingan hidup.”
“Rezeki gak akan ketukar.”

Padahal kalau diperhatikan baik-baik, bukan takdirnya yang bengkok—hatinya saja yang sudah lama tak ditata. Seperti kamar kos tanpa sapu, penuh debu dan pura-pura nyaman.

"Keberuntungan bukan tentang siapa yang paling curang, tapi siapa yang paling sabar dalam ujian."

Sekarang coba perhatikan sekeliling kita. Tak perlu jauh-jauh. Buka YouTube, TikTok, atau Instagram. Konten berhamburan dari segala arah. Beberapa menyuguhkan ilmu dan inspirasi. Tapi tak sedikit juga yang memilih jalan pintas: menjual kehormatan, mempertontonkan aurat, menciptakan drama seolah hidup mereka adalah sinetron kejar tayang tanpa akhir.

Lucunya, penonton juga ikut larut. Scroll, like, komen, share, lalu ulang lagi siklusnya.

Dan lebih lucu lagi:
Konten positif disukai diam-diam. Konten negatif dipromosikan berjamaah.

Kenapa?
Karena dunia digital, sama seperti dunia nyata, sudah mulai kehilangan rasa malu.

Ada yang rela syuting pakai baju setipis tisu, hanya untuk mendapatkan angka viewers yang, mari kita jujur, tak bisa ditukar dengan kedamaian hati. Ada pula yang mengaku "konten motivasi", tapi isinya justru manipulasi.

Bayangkan. Demi disebut "influencer", seseorang bisa mempengaruhi orang lain untuk tidak punya akhlak.

Tapi yang paling menyedihkan bukan itu.
Yang menyedihkan adalah…
Semua ini dianggap normal.

“Di dunia yang sudah terbakar, jangan heran jika yang membawa air justru disebut pengkhianat.”

Cobalah sesekali nongkrong di warung kopi atau angkot, atau dengarkan obrolan remaja zaman sekarang. Banyak dari mereka yang sudah tidak tahu siapa tokoh pejuang bangsa, tapi hafal siapa yang viral gara-gara ribut di live streaming.

Peradaban sedang tergelincir.
Tapi kita sibuk mengatur feed Instagram.

Mungkin kamu berpikir, "Ah, kamu terlalu serius. Hidup sudah susah, jangan ditambah dengan pikiran berat."
Tapi kalau semua orang berpikir seperti itu, maka jangan heran jika anak cucumu nanti justru bangga jadi pelaku prank, bukan penyelamat bangsa.

Apakah semua ini bisa kita benahi? Bisa. Tapi syaratnya satu: kita harus berhenti jadi penonton dan mulai jadi pelaku kebaikan.

Mulai dari hal kecil.
Misalnya: jangan kasih like di konten yang merusak.
Jangan ikut tertawa saat orang lain dihina.
Jangan ikut nyinyir saat melihat orang sukses karena kerja keras.

Kita semua pernah salah. Tapi bukan berarti kita harus bertahan dalam kesalahan itu.

Ada banyak yang hidup dalam dusta, tapi bukan karena mereka tak tahu kebenaran, melainkan karena mereka takut kesepian jika memilih jalan yang benar.

Padahal... jalan yang benar memang sepi, tapi ujungnya terang.
Jalan yang ramai belum tentu selamat sampai tujuan.

Di tengah hingar-bingar dunia, kadang yang kita butuhkan bukan motivator mahal, tapi cermin.
Supaya kita bisa lihat, siapa sebenarnya yang sedang kita tipu selama ini? Dunia? Orang lain? Tuhan?
Atau justru… diri sendiri?


Dan hei, jangan terlalu serius juga ya.
Karena kalau dipikir-pikir, hidup ini memang kadang seperti komedi.
Ada orang yang kerja keras siang malam, hasilnya pas-pasan.
Ada yang cuma lempar senyum ke kamera, lalu auto kaya.
Ada yang jualan jujur, dagangannya sepi.
Ada yang bumbuin hoaks dikit, langsung jadi “pakar nasional”.

Itulah dunia. Kadang adil, kadang absurd.
Tapi jangan sampai absurditas dunia ini membuat kita kehilangan akal dan akhlak.

Ingat, dunia ini cuma sebentar.
Paling lama... 70-80 tahun. Itu pun kalau gak ketabrak motor waktu nyebrang.

Maka sebelum panggung ini ditutup, dan kita harus menghadap pemilik sebenarnya, pastikan peran yang kita mainkan bukan peran yang memalukan.
Jadilah tokoh utama di kehidupanmu sendiri.
Bukan figuran di hidup orang lain.

Dan kalau ada yang bertanya kenapa kamu tetap berpegang teguh pada kebenaran di tengah dunia yang jungkir balik, cukup jawab begini:

“Karena aku tahu ini panggung sementara. Dan aku gak mau malu saat tirainya ditutup.”

Kalau kamu sampai di bagian ini, mungkin kamu memang salah satu dari sedikit orang yang masih mau berpikir. Masih mau membuka mata, dan tak menukar nurani dengan “like” atau “view”.

Dan untuk itu, izinkan saya memberi tepuk tangan... dalam hati saja. Karena biarlah yang tulus itu tak terlihat.
Sama seperti kebaikan, yang tak butuh kamera untuk dinilai.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

#FYI

×
Dukung Saya Beri