Dinamika Terbalik dan Bertolak: Sebuah Catatan dari Negeri Kepala-Kepala Bingung
Mari kita buka dengan satu pertanyaan penting, kawan-kawan pembaca yang budiman:
"Kenapa ya, makin ke sini, yang duduk di bangku kepala itu makin terasa seperti duduk di bangku komedi? Tapi bukan komedi lucu, lebih ke satir menyakitkan."
Fenomena yang sedang kita hadapi di era 2025 ini tidaklah seperti jamur di musim hujan. Jamur itu tumbuh liar tanpa izin, sedangkan yang ini tumbuh dengan seragam, tanda tangan, dan cap basah. Makin ke sini, makin transparan. Bukan transparan dalam hal kejujuran atau akuntabilitas, tapi transparan dalam memperlihatkan betapa anjloknya moral mereka yang duduk di bangku kepala—dari tingkat pusat sampai pojokan RT yang ketua lingkungannya lebih sibuk dari influencer TikTok.
Dulu, ketika mendengar istilah “oknum,” kita langsung berpikir ini pasti kasus bisa dibetulin. Sekarang? “Oknum” itu kayak template. Kalau ada masalah di instansi mana pun, tinggal ucapkan mantra sakti:
“Itu ulah oknum, instansi kami tetap bersih.”
Nah, selesai. Gosok tangan, ngopi sore, lanjut rapat dadakan bahas alokasi dana buat seminar fiktif.
Mari kita bahas akar masalah ini. Presiden sebagai komando tertinggi—dan mari berikan tepuk tangan virtual dulu untuk beliau—sudah benar arah kebijakannya, SOP-nya rapi, regulasi setebal buku nikah, bahkan sistem digitalisasi sudah diterapkan biar jejak-jejak kecurangan bisa dilacak. Tapi sayang, semangat suci dari pusat ini justru seperti sinyal WiFi di pedalaman—semakin jauh, semakin lemah, bahkan hilang total.
Begitu proyek dilelang, dimenangkan, dan dana cair... maka dimulailah Festival Tari Uang Rakyat. Bukan tari tradisional, tapi tari "belok kiri, ambil kanan". Dana yang seharusnya buat rakyat disambut oleh oknum yang lihai seperti pesulap.
“Awalnya jalan sesuai prosedur, Bro. Tapi begitu dana mendarat di lapangan, langsung deh mulai atraksi.”
Beberapa hari kemudian, muncul kompetitor bayangan. Proyek yang awalnya aman, tiba-tiba dikacaukan. Si oknum masuk dengan ide "penyelamatan proyek". Tapi sesungguhnya, dia sedang menyelamatkan kantongnya sendiri. Target kerja dikurangi, kualitas dicekik, dan akhirnya proyek diambil alih perlahan tapi pasti. Awalnya hanya bantu-bantu logistik, ujung-ujungnya semua laporan dan operasional sudah atas nama dia.
Lucunya, kejadian seperti ini bukan cuma di level kementerian atau dinas besar, tapi sudah merambah ke level terbawah. Ya, RT dan RW pun kini sudah paham cara bermain cantik di dalam gelap.
Dulu, generasi era 1960–2000 tidak seperti ini. Jangan bilang zaman dulu lebih baik karena tak ada media sosial. Tidak. Mereka lebih baik karena ada rasa malu, rasa takut pada Tuhan, dan—percaya atau tidak—rasa cinta pada rakyat. Dulu, pemimpin lokal itu dihormati karena mereka memang layak dihormati. Mereka jadi panutan karena punya nilai dan prinsip. Sekarang?
"Pak RT-nya jago bikin proposal, tapi lebih jago ngilangin bukti."
Saking transparannya korupsi saat ini, warga bisa main tebak-tebakan:
"Eh, ini proyek taman, ya? Berapa persen yang ke warga, berapa persen ke panitia?"
Dan lucunya, semua ini berlangsung dalam irama yang sangat formal. Surat menyurat rapi, kuitansi lengkap, laporan bulanan disusun dalam binder. Tapi semua hanya kosmetik. Yang penting “dokumen lengkap,” meski isinya manipulatif.
Kenapa bisa begini?
Karena role model mereka kini bukan lagi tokoh negarawan. Bukan juga tokoh agama atau sesepuh kampung. Tapi… tokoh-tokoh yang wajahnya lebih sering muncul di sidang korupsi daripada di forum diskusi publik. Atau lebih parah, tokoh yang bisa bikin sinetron panjang di TikTok sambil pamer uang receh hasil proyek.
Maka hadirlah sebuah ironi besar: sistemnya sudah bagus, tapi manusianya masih penuh modus. Aturan dibuat oleh orang waras, dilaksanakan oleh yang merasa bisa ngatur aturan. Di sinilah dinamika terbalik dan bertolak terjadi. Ketika logika berpikir masyarakat sehat ditabrak oleh kelakuan mereka yang katanya pemimpin.
Bukannya memimpin ke arah perbaikan, malah memimpin ke arah pembenaran—atas perilaku menyimpang yang dibalut narasi “demi stabilitas.” Stabilitas apa? Stabilitas dompet pribadi?
"Bapak-bapak yang terhormat, ini bukan negeri dongeng. Tapi kenapa cara kalian ngelola anggaran kayak cerita fabel, ya? Ada serigala, ada rubah, tapi nggak ada petani yang benar-benar panen."
Masyarakat pun mulai skeptis. Mereka bukan tidak paham. Justru sekarang, masyarakat makin cerdas. Bedanya, sekarang mereka sudah terlalu capek bicara, terlalu jenuh melihat drama. Kritik pun hanya menjadi hiburan akhir pekan. Tidak heran, meme politik lebih viral daripada berita pembangunan.
Akhirnya, kita harus akui: negeri ini bukan kekurangan sistem, tapi kekurangan moral. Kekurangan pemimpin sejati. Kekurangan orang yang bisa bilang “cukup” saat godaan datang.
Tapi tenang, bukan berarti semuanya gelap. Masih ada yang jujur, masih ada yang tulus. Hanya saja, suara mereka kalah nyaring dengan suara amplop yang berisi janji palsu.
Jadi, bagaimana solusinya?
Bukan hanya dari presiden. Tapi dari kita juga. Dari RT yang berani nolak setoran, dari warga yang mau lapor tanpa takut, dari tokoh masyarakat yang mau pasang badan demi kebenaran. Karena kalau kita biarkan terus, lama-lama:
"Yang jujur dianggap aneh, yang nyolong dianggap pintar, yang kritis dianggap pengacau."
Negeri ini tidak butuh pahlawan bertopeng. Negeri ini butuh warga biasa yang berani berkata: “Sudah cukup main-mainnya, mari bekerja untuk rakyat, bukan dari rakyat.”
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]