Halo sahabat Faarsyam dimanapun kalian berada, semoga selalu dalam keadaan sehat dan penuh semangat.
Di tengah derasnya arus informasi global, kita sering kali disuguhkan oleh narasi-narasi dari media arus utama Barat yang seolah menjadi patokan kebenaran mutlak. Namun, semakin ke sini, dunia mulai menyadari bahwa tak semua yang disampaikan benar adanya. Banyak dari pemberitaan mereka yang justru sarat dengan kepentingan politik dan bias, terutama dalam isu-isu yang menyangkut dunia Islam dan negara-negara Timur. Salah satu momen penting yang menandai perubahan persepsi ini adalah insiden 7 Oktober yang menguak standar ganda yang sudah lama diterapkan oleh media-media tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, kepercayaan publik terhadap media arus utama Barat mengalami penurunan signifikan, terutama dalam konteks peliputan konflik global seperti serangan Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023. Banyak pihak menyoroti bias dan standar ganda yang diterapkan oleh media tersebut, yang cenderung menampilkan narasi pro-Israel dan mengabaikan penderitaan warga Palestina.
Sejumlah jurnalis dari media terkemuka seperti CNN dan BBC mengungkapkan adanya intervensi dalam peliputan yang meremehkan kekejaman Israel, serta kegagalan untuk meminta pertanggungjawaban pejabat Israel atas tindakan mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang integritas dan objektivitas media Barat dalam menyampaikan informasi kepada publik.
Di tengah ketidakpercayaan terhadap media Barat, muncul inisiatif global yang menekankan pentingnya dialog antaragama dan toleransi. Salah satunya adalah penandatanganan "Dokumen Persaudaraan Manusia" oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Sheikh Ahmed el-Tayeb, pada Februari 2019. Dokumen ini menyerukan kerja sama lintas agama untuk mempromosikan perdamaian dan hidup berdampingan secara harmonis.
Sementara itu, dalam arena ekonomi global, perang tarif antara Amerika Serikat dan China menunjukkan dinamika kekuatan yang berubah. Meskipun media Barat awalnya memprediksi kerugian besar bagi China, kenyataannya negara tersebut berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya dan memperkuat hubungan dagang dengan negara-negara lain seperti Arab Saudi dan Afrika Selatan. Langkah ini menunjukkan bahwa China tidak hanya bertahan, tetapi juga memperluas pengaruhnya di tengah tekanan ekonomi dari AS.
“Ketika peluru itu berasal dari mereka yang disetujui, maka berita pun menjadi bisu. Tapi saat perlawanan datang dari mereka yang tertindas, suara media justru menggelegar seolah sedang melawan keadilan.”
Perkembangan ini mencerminkan pergeseran dalam tatanan global, di mana negara-negara mulai mencari alternatif dari dominasi narasi dan kebijakan Barat. Kritik terhadap bias media Barat dan upaya untuk membangun hubungan yang lebih inklusif dan adil menjadi bagian dari upaya kolektif untuk menciptakan dunia yang lebih seimbang dan harmonis.
Salah satu contohnya bisa dilihat dari pendekatan baru yang dilakukan oleh Prancis terhadap negara-negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Di tengah ketegangan geopolitik, upaya mendekatkan diri dengan dunia Islam menjadi sinyal bahwa narasi lama yang menyudutkan Islam tidak lagi efektif. Negara-negara Barat kini harus beradaptasi dengan realitas baru: bahwa kerja sama, bukan konfrontasi, adalah kunci untuk stabilitas global.
Tidak hanya dalam isu politik dan sosial, standar ganda media Barat juga terlihat dalam sektor ekonomi. Salah satu kasus paling mencolok terjadi saat perang dagang antara Amerika Serikat dan China pada masa pemerintahan Donald Trump. Media Barat secara masif memberitakan bahwa China akan mengalami kerugian besar akibat tarif yang diberlakukan oleh Washington. Mereka membangun narasi bahwa perekonomian China akan terguncang dan investasi asing akan hengkang.
Namun, kenyataannya jauh berbeda. China tidak hanya berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonominya, tetapi juga memperluas pengaruh dagangnya ke berbagai wilayah dunia. Dalam beberapa tahun terakhir, China meningkatkan hubungan strategisnya dengan negara-negara di Asia, Afrika, hingga Timur Tengah. Di sisi lain, AS justru mengalami tekanan ekonomi domestik yang semakin kompleks, ditandai dengan inflasi, defisit, dan ketegangan sosial.
Fakta menarik lainnya adalah bahwa Donald Trump sendiri, yang dulu begitu keras terhadap China, belakangan ingin kembali membuka negosiasi dengan Beijing. Hal ini menunjukkan bahwa narasi media tidak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Prediksi tentang “keruntuhan China” yang dibesar-besarkan oleh media Barat terbukti meleset. Justru sebaliknya, China semakin kokoh sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia.
Situasi ini memperlihatkan bahwa dunia kini berada dalam masa transisi. Kepercayaan terhadap narasi tunggal dari media arus utama Barat semakin memudar. Masyarakat global mulai mencari alternatif informasi yang lebih berimbang dan berbasis fakta. Di sisi lain, negara-negara yang selama ini dikucilkan atau dikambinghitamkan oleh media Barat justru mulai mendapatkan tempat baru dalam tatanan global.
Tentu, ini tidak berarti bahwa seluruh media Barat bersalah atau tidak kredibel. Masih ada jurnalis independen dan media alternatif yang berjuang menyampaikan fakta dengan berani. Namun, secara umum, kecenderungan bias dan kepentingan politik dalam pemberitaan media besar sangat nyata dan tidak bisa diabaikan.
Pergeseran kepercayaan ini menjadi peluang bagi negara-negara di luar blok Barat untuk membangun narasi mereka sendiri. Media lokal dan regional kini memiliki peran penting untuk menyuarakan kebenaran versi mereka tanpa harus tunduk pada tekanan politik atau ekonomi dari kekuatan besar. Ini juga mendorong munculnya solidaritas baru antarnegara dan komunitas yang sebelumnya terpecah karena isu-isu geopolitik.
Khususnya bagi dunia Islam, ini adalah momentum untuk menunjukkan wajah Islam yang damai, adil, dan beradab. Dengan membuka dialog, menjalin kerja sama, dan terus mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal, umat Islam dapat menjadi jembatan bagi perdamaian global. Tidak ada lagi ruang untuk narasi yang mendiskreditkan agama atau budaya tertentu demi kepentingan politik sesaat.
Sebagai masyarakat yang cerdas, kita harus lebih kritis terhadap informasi yang diterima. Tidak semua yang disampaikan media besar bisa langsung dipercaya tanpa verifikasi. Dalam dunia digital yang serba cepat ini, kemampuan menyaring informasi menjadi keahlian penting. Kita tidak boleh lagi menjadi korban propaganda, melainkan menjadi pelaku perubahan menuju dunia yang lebih adil dan beradab.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]