Penuh Sesaknya Kendaraan Bermotor di Indonesia: Kenapa Bisa Terjadi?
Halo semuanya, dimanapun kalian berada.
Senang rasanya bisa kembali menulis dan berbagi gagasan melalui blog ini. Kali ini, saya ingin mengangkat satu topik yang semakin relevan di kehidupan kita sehari-hari: penuh sesaknya kendaraan bermotor di Indonesia. Mungkin kamu sendiri sudah merasa jenuh dengan macet yang tiada henti, suara klakson bertubi-tubi, dan pemandangan jalanan yang semakin semrawut. Lantas, apa sebenarnya penyebab dari semua ini?
Ledakan Jumlah Kendaraan: Data yang Mengagetkan
Berdasarkan data dari Korlantas Polri hingga awal tahun 2025, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia telah menembus 168 juta unit, dan lebih dari 83% di antaranya adalah sepeda motor. Ini bukan angka yang kecil, melainkan sebuah lonjakan yang drastis dari tahun ke tahun.
“Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh sepeda motor, mencapai sekitar 140 juta unit. Ini meningkat signifikan dalam 5 tahun terakhir.”
— Korlantas Polri, April 2025
Jika kita melihat angka tersebut, mudah untuk menyimpulkan bahwa populasi kendaraan di Indonesia tumbuh seolah-olah ingin menyaingi jumlah penduduknya. Kebutuhan akan mobilitas cepat dan mudah menjadi alasan utama, namun, ironisnya, kecepatan itu malah terhambat oleh kemacetan panjang yang kini sudah menjadi hal lumrah di banyak kota dan wilayah.
Jalan Rusak dan Pelanggaran yang Merajalela
Masalah ini tidak datang sendirian. Seiring dengan meningkatnya kendaraan, kita juga dihadapkan pada infrastruktur jalan yang kurang memadai dan terus menurun kualitasnya. Banyak jalan rusak, berlubang, bahkan tidak layak pakai. Ini diperparah dengan minimnya kesadaran berlalu lintas, seperti:
- Pengendara yang melawan arah
- Parkir sembarangan
- Tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman
- Tidak memiliki surat kendaraan
“Polisi sudah memberikan contoh baik dan melakukan penegakan hukum seperti tilang, tapi perubahan perilaku masyarakat tidak bisa instan.”
— Pengamat Transportasi, 2024
Meskipun upaya dari pihak berwenang sudah dilakukan, seperti razia dan edukasi, watak masyarakat yang menganggap enteng peraturan masih menjadi tantangan besar. Ini adalah tantangan budaya, bukan hanya soal teknis.
Kemacetan: Masalah Nasional, Bukan Hanya Kota Besar
Mungkin dulu kita berpikir bahwa kemacetan hanya terjadi di Jakarta. Tapi sekarang, kota-kota seperti Bandung, Surabaya, Medan, Yogyakarta, hingga Makassar pun sudah masuk daftar merah. Bahkan, di beberapa kawasan pinggiran dan desa, padatnya kendaraan semakin terasa.
“Hingga akhir 2024, terdapat lebih dari 700 titik rawan kemacetan dan kecelakaan di seluruh Indonesia, sebagian besar di Pulau Jawa.”
— Kakorlantas Polri
Perbandingan dengan Negara Maju: Mengapa Kita Tertinggal?
Bila dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Amerika Serikat, perbedaan gaya hidup dan budaya transportasi sangat mencolok. Di negara-negara tersebut, orang-orang lebih memilih menggunakan transportasi umum atau berjalan kaki dan bersepeda — meskipun mereka sebenarnya mampu membeli kendaraan pribadi.
Alasan di balik pilihan ini bukan semata karena fasilitas yang lengkap, tetapi juga karena kesadaran tinggi akan dampak lingkungan dan kemacetan. Bandingkan dengan di Indonesia, di mana bahkan lapisan masyarakat miskin kini bisa mencicil kendaraan bermotor karena tawaran DP murah dan promosi yang gencar dari para sales.
“Di Jepang, banyak pekerja yang tetap memilih naik sepeda atau jalan kaki meski mereka mampu membeli mobil.”
— Studi Mobilitas Urban, Kyoto University, 2023
Fenomena ini membuat kita merenung: apakah logis Indonesia masih dikategorikan sebagai negara berkembang, sementara daya beli untuk kendaraan begitu tinggi bahkan di kalangan ekonomi bawah?
Faktor Iklim dan Kenyamanan: Kenapa Transportasi Umum Kurang Diminati?
Ada pula alasan iklim yang tidak bisa diabaikan. Sinar matahari di Indonesia yang terik, serta hujan yang tidak menentu, membuat masyarakat merasa lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi daripada harus berjalan kaki atau naik transportasi umum. Sayangnya, kenyamanan pribadi ini menimbulkan ketidaknyamanan kolektif, yaitu kemacetan.
Apa Solusinya?
Permasalahan ini kompleks, namun bukan tanpa solusi. Berikut beberapa pendekatan yang dapat dilakukan bersama:
1. Penguatan Transportasi Umum
Pemerintah perlu terus mendorong pengembangan transportasi umum yang murah, nyaman, dan tepat waktu. Keberhasilan MRT dan LRT di Jakarta bisa menjadi contoh baik untuk wilayah lain.
2. Pendidikan Berlalu Lintas Sejak Dini
Kesadaran berkendara harus ditanamkan sejak kecil melalui kurikulum sekolah dan kampanye massal.
3. Penerapan Pajak dan Pembatasan
Sistem seperti ganjil-genap, pembatasan usia kendaraan, dan pajak kendaraan kedua bisa menjadi alat kendali terhadap pertumbuhan kendaraan pribadi.
4. Pembangunan Infrastruktur Non-Kendaraan
Pembangunan trotoar layak, jalur sepeda, dan zona pejalan kaki harus menjadi prioritas, bukan pelengkap.
Kesimpulan: Cermin dari Budaya Kita
Penuh sesaknya kendaraan di Indonesia bukan hanya soal jumlah, tapi cerminan dari budaya konsumsi, kesenjangan sosial, minimnya perencanaan, dan rendahnya kedisiplinan. Jika ingin keluar dari krisis kemacetan ini, kita semua harus introspeksi dan bergerak bersama — bukan hanya menunggu solusi dari pemerintah.
“Mobilitas yang lebih manusiawi adalah hasil dari kesadaran kolektif, bukan sekadar proyek fisik.”
— Aktivis Urban Planner, 2025
Referensi:
- Korlantas Polri, “Data Jumlah Kendaraan Bermotor di Indonesia 2025”, www.korlantas.polri.go.id
- Tempo.co, “700 Titik Rawan Kemacetan”, 2024
- Kyoto University, Urban Mobility Research, 2023
- Gaikindo & AISI, Laporan Penjualan Kendaraan Bermotor 2025
- AP News & Kompas, Analisis Transportasi Perkotaan, 2025
Jika kamu punya pendapat atau pengalaman soal ini, yuk bagikan di kolom komentar. Apakah kotamu sudah mulai padat kendaraan juga? Apa solusimu?
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]