Di kehidupan ini, banyak hal yang lahir dari rasa peduli. Rasa peduli membuat kita menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, mencoba merasakan apa yang mereka rasakan, dan berpikir: "Kalau aku ada di posisi mereka, bagaimana aku ingin diperlakukan?" Itulah awal dari empati. Dari situlah lahir tindakan-tindakan yang lebih manusiawi. Ketika suatu hubungan baik pertemanan, bisnis, ataupun rumah tangga berlandaskan pada kepedulian dan empati, maka rasa adil akan tumbuh secara alami.
Namun, sebaik apapun niat kita, akan selalu ada orang yang merasa lebih benar. Bahkan ketika mereka adalah pihak yang telah lebih dahulu melanggar sebuah komitmen, mereka tetap berdiri di atas keyakinan mereka sendiri—mengklaim bahwa merekalah yang terzalimi, mereka yang paling paham kebenaran.
Lalu muncul pertanyaan yang cukup tajam: Apa yang sebenarnya terjadi ketika seseorang mengingkari komitmen yang telah ia sepakati?
Komitmen Bukan Sekadar Janji
Sebuah komitmen bukan hanya barisan kata-kata yang kita ucapkan di hadapan orang lain. Komitmen adalah muatan batin. Ia mencakup kejujuran hati, kesungguhan niat, dan amanah yang mengikat. Ketika kita berkata, “Aku akan melakukan ini,” maka secara tidak langsung kita telah memberikan janji. Dan dalam janji itu ada amanah yang harus dijaga.
Tidak peduli seberapa kecil komitmen itu di mata manusia, di sisi Allah, setiap amanah akan dipertanggungjawabkan. Karena pada hakikatnya, amanah adalah ujian. Allah berfirman dalam QS. Al-Ahzab ayat 72:
"Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh."
Manusia memikul amanah yang ditolak oleh ciptaan-ciptaan besar. Tapi ketika amanah itu dikhianati, maka kebodohan dan kezalimannya pun terbongkar. Maka, seseorang yang dengan sadar mengingkari komitmennya, apalagi setelah menerima kepercayaan adalah orang yang berada dalam bahaya besar. Bahaya dunia, dan bahaya akhirat.
Sifat Munafik dan Tiga Ciri yang Terlupakan
Pernahkah kita mendengar sabda Rasulullah ﷺ yang berbunyi:
"Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia berkhianat."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Tiga hal ini tampak sederhana. Tapi inilah ciri yang bisa menjadi garis pemisah antara keimanan dan kemunafikan. Karena kemunafikan bukan hanya soal aqidah. Ia bisa bersarang di dalam perilaku, dalam lisan, dan dalam hati yang tak pernah jujur pada diri sendiri maupun orang lain.
Maka, jika ada seseorang yang telah mengucap janji tapi kemudian dengan sadar mengingkarinya, lalu tidak merasa bersalah, tidak berusaha memperbaiki, bahkan justru merasa benar, di sinilah letak bahayanya. Ia telah menyepelekan dosa yang Rasulullah ﷺ beri peringatan keras.
Dan saya teringat satu ceramah Ustadz Abdul Somad yang menyampaikan betapa beratnya konsekuensi dari sifat munafik. Dalam satu sesi tanya jawab, beliau menjelaskan bahwa orang yang memiliki sifat-sifat ini bukan hanya berdosa besar, tetapi terancam tempatnya di dasar neraka—karena Allah telah menegaskan dalam QS. An-Nisa ayat 145:
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka."
Cukup ayat ini menjadi peringatan bagi kita semua. Betapa berbahayanya mempermainkan komitmen, mempermainkan kepercayaan, dan berdusta demi ego pribadi.
Jangan Sampai Kita Termasuk di Dalamnya
Jangan buru-buru menunjuk orang lain. Mungkin kita pernah kecewa karena seseorang yang telah kita percaya justru menyakiti kita. Tapi sebelum kita terlalu larut menyalahkan, lebih baik kita mulai dengan bercermin. Pernahkah kita menjadi orang yang mengingkari janji? Pernahkah kita berbicara, lalu menyelipkan dusta demi terlihat baik? Pernahkah kita diberi tanggung jawab, namun kita khianati?
Jika ya, maka segeralah kembali kepada Allah. Taubatlah, sebelum sifat-sifat itu mendarah daging. Sebelum kita terbiasa berdusta. Sebelum kita terbiasa mengecewakan. Sebelum kita terjerumus lebih dalam, hingga tak sadar bahwa kita telah berubah menjadi pribadi yang sulit dipercaya.
Karena siapa pun yang tidak bisa dipercaya, sebaik apapun dirinya terlihat, tetaplah menjadi ancaman bagi orang lain.
Kebaikan Tak Pernah Sia-Sia
Mungkin kamu adalah orang yang telah menjaga komitmen, bersikap jujur, dan menepati janji, namun justru dikhianati oleh orang lain. Jangan patah semangat. Jangan berubah menjadi seperti mereka.
Dalam dunia yang penuh kebohongan, menjadi orang yang jujur adalah bentuk perjuangan. Menjadi pemegang amanah di tengah pengkhianatan adalah ujian keimanan. Tapi yakinlah, Allah Maha Melihat dan Maha Adil. Tak satu pun kebaikanmu yang sia-sia. Bahkan meski manusia lupa atau pura-pura tak tahu, Allah tetap mencatat.
Dan bila memang kamu dizalimi karena kejujuranmu, anggaplah itu bentuk pembersih dosa. Karena bisa jadi, pengkhianatan mereka adalah cara Allah mengangkat derajatmu.
Penutup: Doa Kita Bersama
Mari kita minta kepada Allah dengan rendah hati:
Ya Allah, jauhkanlah kami dari sifat munafik. Jauhkan lisan kami dari dusta, jauhkan hati kami dari pengkhianatan. Jadikan kami hamba-Mu yang jujur, amanah, dan bisa dipercaya. Dan bila kami pernah berbuat salah, bimbing kami untuk bertaubat dan memperbaiki diri sebelum ajal menjemput kami. Aamiin.
Hidup ini terlalu singkat untuk disia-siakan dengan kebohongan dan pengkhianatan. Dan akhirat terlalu panjang untuk dilalui dengan membawa dosa yang seharusnya bisa kita hindari sejak awal. Semoga tulisan ini menjadi cermin sekaligus pengingat bagi kita semua. Bahwa janji itu bukan main-main. Bahwa kepercayaan adalah titipan. Dan bahwa Allah tidak tidur.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]