Ada Apa Gerangan dengan Dunia Ini?
Ada kalanya hidup terasa seperti berada di dalam sinetron. Tapi bukan sinetron romantis yang berakhir bahagia—melainkan sinetron penuh konflik, ledakan, dan karakter-karakter yang tidak bisa duduk tenang. Setiap hari berita datang seperti pengantar tugas dari guru killer: bikin stres dan nyesek.
Baru saja kita bangkit dari pandemi, eh... sekarang malah disambut dengan kabar bahwa rudal bisa saja lewat di atas kepala kita. Tanpa permisi. Tanpa salam. Kayak kurir paket yang tiba-tiba nongol dan langsung foto barang di depan rumah, padahal kita belum buka pagar.
Saya jadi berpikir: ini dunia lagi stress? Atau kita yang terlalu serius menanggapinya?
Peperangan meletus di berbagai belahan bumi seperti popcorn di atas teflon. Rusia dan Ukraina masih berkutat, Timur Tengah belum sempat tenang, lalu muncul lagi berita ketegangan di belahan Asia. Makin ke sini, bumi terasa seperti panggung konser rock—berisik, penuh asap, dan penonton pada teriak-teriak.
"Hidup damai dong! Kami rakyat biasa, bukan karakter film aksi."
Penyebabnya? Klise, tapi nyata: sumber daya alam.
Bayangkan sekelompok orang berebut harta karun, padahal bumi ini belum sempat napas dari eksploitasi. Yang satu pengin tambang minyak, yang satu rebutan logam langka, yang lain sibuk ngebor ke mana-mana. Kalau bumi bisa ngomong, mungkin dia akan bilang, “Boleh nggak, saya cuti sebentar?”
Dan di tengah semua itu... Indonesia kita tercinta?
Negara kita seperti tetangga kompleks yang ikut merasakan imbas keributan rumah sebelah. Bukan pelaku, bukan korban utama, tapi tetap harus putar otak untuk bisa makan tiga kali sehari tanpa memikirkan harga telur naik-turun kayak mood mantan.
Krisis ada di mana-mana. Harga barang melonjak lebih tinggi dari cita-cita anak SD. Tenaga kerja? Ah, itu dia masalahnya. Banyak lulusan kampus yang jadi ahli desain CV, bukan karena suka, tapi karena lamaran kerja mereka selalu nyangkut di ‘folder tak terbalas’.
“Mas, pengalaman kamu kurang.”
“Tapi saya baru lulus, Bu.”
“Iya, makanya kurang.”
Ironisnya, saat lowongan minta pengalaman lima tahun, gajinya UMR. Tapi saat kerja di lapangan, tugasnya sepuluh tahun ke depan. Belum lagi syarat harus ‘bersedia kerja di bawah tekanan’—padahal tekanan hidup aja udah bikin kepala cenat-cenut.
Tapi kita rakyat Indonesia itu hebat. Dalam kondisi apa pun, kita masih bisa tertawa. Bahkan saat gaji tidak naik dan harga beras ngambek kayak pacar yang diabaikan, kita tetap semangat hidup. Modalnya? Ya itu tadi: humor receh, nasi kucing, dan kadang-kadang, utang di warung tetangga.
Kalau ditanya: “Akankah kemakmuran hanya jadi mimpi?”
Jawaban jujur? Mungkin. Tapi bukan berarti kita berhenti berharap. Karena kita ini bangsa yang doyan mimpi, tapi juga suka ngopi. Mimpi boleh tinggi, tapi tetap sadar diri kalau kopi sachet dua ribuan udah naik jadi tiga ribu. Ya sudahlah, yang penting masih ada ampasnya.
Kemakmuran di negeri ini kadang terasa seperti giveaway Instagram: kita ikutin semua syaratnya, tag lima teman, follow sponsor, tapi tetap nggak kepilih. Sementara yang menang malah akun misterius dengan satu postingan dan 0 followers.
Tapi harapan itu tetap ada. Di balik semua kekacauan dunia, masih banyak orang baik. Masih ada anak muda yang kerja dari pagi sampai malam sambil bantu orang tuanya. Masih ada petani yang terus menanam meskipun pupuk mahal. Masih ada guru yang sabar mengajar meski gajinya bisa bikin kantong bolong.
Dunia boleh kacau, tapi jangan sampai akal sehat ikut bubar.
Kadang kita terlalu sibuk memikirkan hal-hal besar, padahal kebaikan itu ada di sekitar. Misalnya, ibu warteg yang tetap kasih sambal lebih tanpa minta bayaran. Atau tukang parkir yang rela bantu dorong motor mogok, walau kita baru saja parkir dua menit.
Itulah Indonesia. Meski sistem bisa rumit, meski birokrasi kadang berbelit, tapi masyarakatnya masih punya hati.
Jadi, ada apa gerangan?
Mungkin dunia memang sedang berada di fase ‘pubertas’. Labil. Banyak emosi. Suka meledak-ledak. Tapi kita tak bisa hanya jadi penonton yang menunggu episode berikutnya. Kita harus tetap jadi bagian dari cerita—yang lucu, yang waras, dan yang tetap bisa tersenyum.
Karena seperti kata pepatah modern: “Jika dunia ini panggung sandiwara, setidaknya jadilah karakter yang bisa bikin penonton tertawa, bukan menangis.”
Dan untukmu yang sedang membaca ini, entah sedang rebahan di kasur, duduk di pojokan kamar kos sambil mikirin tagihan listrik, atau lagi pura-pura kerja di depan layar laptop kantor: tenang, kamu tidak sendirian. Dunia memang kacau, tapi kamu tetap waras—dan itu sudah luar biasa.
Tetap semangat ya. Jangan lupa makan, jangan terlalu sering baca berita kalau hatimu belum siap. Dan sesekali, lihat langit. Siapa tahu ada pelangi, bukan rudal.
Kalau kamu suka tulisan ini, jangan sungkan buat bagikan ke temanmu. Siapa tahu dia juga butuh ketawa, bukan keluhan.
Kalau kamu tidak suka? Ya nggak apa-apa juga. Dunia tetap akan kacau, dengan atau tanpa persetujuanmu.
Yang penting, kita masih bisa bercanda di tengah huru-hara. Karena dari situlah harapan lahir: bukan dari keluhan, tapi dari senyum kecil yang tetap muncul, bahkan saat hidup sedang tidak ramah.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]