Ketika Trump Angkat Bicara: Haruskah Mahasiswa Asing Dibatasi di Harvard?
Pernahkah kamu membayangkan bagaimana rasanya kuliah di Harvard? Sebuah kampus impian, tempat berkumpulnya para pemikir cerdas dari seluruh dunia. Namun baru-baru ini, mantan Presiden AS, Donald Trump, kembali jadi perbincangan usai menyuarakan kritik keras terhadap jumlah mahasiswa asing di Harvard. Dan, ini bukan sekadar omongan biasa—karena kebijakannya langsung berdampak nyata.
Dalam sebuah wawancara dan sederet kebijakan resmi pada Mei 2025, Trump menyatakan bahwa terlalu banyak kursi di Harvard diisi oleh mahasiswa internasional, dan itu dianggap mengurangi kesempatan bagi warga Amerika sendiri.
"Saya ingin agar anak-anak muda kita mendapatkan akses pendidikan terbaik. Harvard adalah universitas Amerika, seharusnya mengutamakan rakyat Amerika."
— Donald J. Trump
Kalimat ini memang terdengar nasionalis—dan dari sudut pandang tertentu, masuk akal. Tapi... benarkah mahasiswa asing itu mengambil ‘jatah’ warga lokal? Atau mereka justru memberi nilai tambah?
Harvard: Kampus Dunia dengan Wajah Internasional
Saat ini, sekitar 27,2% mahasiswa Harvard adalah warga negara asing. Artinya, dari total sekitar 25.000 mahasiswa, hampir 7.000 di antaranya berasal dari luar Amerika. Mereka datang membawa semangat, pengetahuan, dan mimpi besar dari negara masing-masing.
Bukan cuma datang untuk belajar, mereka juga ikut membiayai kampus. Karena tidak mendapat subsidi negara, mahasiswa asing biasanya membayar biaya kuliah secara penuh—yang sering kali dua kali lipat lebih besar dari mahasiswa lokal. Jadi secara ekonomi, kehadiran mereka sangat membantu.
"Mahasiswa internasional adalah bagian penting dari komunitas akademik kami. Mereka memperkaya diskusi, memperluas perspektif, dan berkontribusi dalam riset-riset mutakhir."
— Pernyataan resmi Harvard, Mei 2025
Tapi Trump Tidak Tinggal Diam...
Alih-alih melihatnya sebagai peluang, Trump justru mengeluarkan serangkaian kebijakan pembatasan. Di antaranya:
- Mengusulkan batas maksimal 15% mahasiswa asing di Harvard.
- Membekukan lebih dari $2 miliar dana hibah dan kontrak federal untuk universitas.
- Melalui DHS, mencabut sertifikasi yang memungkinkan Harvard menerima mahasiswa asing.
Bahkan, dalam pernyataan publik, Trump menyebut bahwa mahasiswa asing bisa datang dari negara “sangat radikal” dan bisa menjadi “troublemakers”.
"Kita tidak ingin pusat perbelanjaan meledak. Kita tidak tahu siapa yang mereka bawa ke sini."
— Trump, dalam wawancara dengan Fox News
Pernyataan itu tentu menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk komunitas akademik dan pegiat HAM.
Dunia Akademik: Antara Nasionalisme dan Kolaborasi Global
Pernyataan dan kebijakan Trump membuka diskusi menarik: apakah universitas elite harus memprioritaskan warga negaranya sendiri, atau justru tetap terbuka untuk seluruh dunia?
"Kalau semua negara hanya mau menerima warga negaranya saja di kampus terbaik mereka, lalu di mana tempat bagi kolaborasi ilmiah lintas negara?"
Sebagai universitas kelas dunia, Harvard bukan sekadar institusi lokal Amerika. Ia adalah pusat ilmu, kolaborasi, dan inovasi global. Mahasiswa dari India, Nigeria, Tiongkok, Indonesia, dan negara lain bukan hanya tamu, tapi mitra intelektual. Mereka ikut dalam riset medis, teknologi, bahkan pemikiran kebijakan global.
Sisi Lain: Apakah Trump Sepenuhnya Salah?
Kalau kita jujur, sebagian kekhawatiran Trump mungkin muncul dari rasa frustrasi warga lokal. Di banyak wilayah AS, anak-anak muda dari keluarga menengah ke bawah hampir mustahil bisa menembus Harvard. Entah karena sistem seleksi yang kompleks, informasi yang kurang, atau biaya yang tak terjangkau.
Jadi ketika mereka melihat kursi-kursi itu diisi oleh pelajar dari luar negeri yang tampak ‘lebih mampu’, wajar bila ada rasa terpinggirkan. Masalahnya bukan sekadar siapa yang diterima, tapi siapa yang sebenarnya punya akses ke peluang itu.
Haruskah Dibatasi?
Menurut saya, pendidikan tinggi harus tetap terbuka untuk siapa saja yang layak dan punya kapasitas, terlepas dari paspor yang mereka pegang. Tapi di saat yang sama, negara juga perlu serius memastikan bahwa warganya sendiri tidak tertinggal karena alasan sosial atau ekonomi.
Solusinya bukan menutup pintu untuk mahasiswa asing, melainkan membuka akses lebih besar bagi warga lokal—tanpa mengorbankan kualitas dan keberagaman.
Gantian Kamu...
Kalau kamu diberi kesempatan menentukan kebijakan di Harvard, kamu akan pilih yang mana?
- Membatasi mahasiswa asing demi memberikan lebih banyak peluang bagi warga lokal?
- Atau tetap mempertahankan keterbukaan sebagai kampus global, meskipun itu artinya bersaing lebih ketat?
Dan satu pertanyaan reflektif: Apakah kehadiran mahasiswa asing menurutmu lebih membawa manfaat atau justru tantangan?
Silakan tulis pendapatmu. Karena pendidikan bukan hanya soal belajar, tapi juga soal arah masa depan dunia.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]