Notification

×

Kategori Tulisan

Cari Tulisan/Kata/Judul

Iklan

Iklan

#faarsyam

MISI RAHASIA FRANCE DEKATI NEGARA ISLAM

Sabtu, 31 Mei 2025 | Mei 31, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-05-30T16:36:52Z

Aroma Strategi Prancis: Antara Simpati dan Kepentingan

Di bawah suhu ruangan 29 derajat Celsius, saya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Pikiran saya mengembara jauh, menembus dinding dan jendela rumah, masuk ke dalam pertanyaan besar yang akhir-akhir ini terus terngiang: apa sebenarnya yang sedang direncanakan oleh negara-negara Eropa, terutama Prancis?

Kita jarang mendengar berita besar tentang gesekan antarnegara Eropa. Setidaknya, tidak di permukaan. Namun, kali ini Prancis membuat sebuah langkah yang tidak biasa. Langkah memutar, elegan, penuh basa-basi diplomatik, namun terasa tajam bagi siapa pun yang memerhatikannya. Ia terlihat seperti memisahkan diri dari kawanan lama, dari konsensus politik Eropa, lalu tiba-tiba sibuk wara-wiri di negara-negara Islam. Di depan publik, mereka menyampaikan dukungan terhadap dunia Islam. Mereka bahkan mengecam kekerasan terhadap umat Islam. Tapi, perhatikan baik-baik: hanya mengecam saja.

Dari luar, ini mungkin terlihat seperti langkah kemanusiaan. Tapi sebagai seseorang yang mengamati perpolitikan global dari sudut-sudut sunyi, saya tak bisa tidak merasa ada aroma kejanggalan. Ketika satu negara besar mulai berbicara tentang keadilan dalam konflik Timur Tengah — padahal selama ini diam atau ambigu — saya percaya ada lebih dari sekadar simpati yang sedang digerakkan.


Prancis belakangan ini mempertimbangkan untuk mengakui negara Palestina. Sebuah sikap yang, jika terjadi, tentu akan mencatatkan sejarah tersendiri dalam diplomasi global. Apalagi jika dilakukan oleh negara seberpengaruh Prancis. Namun, kita semua tahu: pengakuan dalam diplomasi tidak pernah sesederhana kelihatannya. Ada kepentingan yang lebih dalam di baliknya.

Langkah Prancis tersebut berbarengan dengan konferensi besar yang mereka adakan bersama Arab Saudi, bertujuan membentuk kerangka kenegaraan Palestina sambil menjamin keamanan Israel. Sebuah langkah yang secara naratif tampak netral dan adil. Tapi lagi-lagi, saya bertanya: mengapa sekarang? Mengapa setelah sekian dekade pembantaian dan penindasan terhadap rakyat Palestina, Prancis baru mengambil posisi ini?

Seorang teman saya berkata, “Mungkin karena nurani mereka baru tersentuh.” Tapi dunia politik tidak bergerak karena nurani. Ia bergerak karena kepentingan.

Dan jika kita runut, langkah ini muncul di tengah meningkatnya kekerasan Israel terhadap rakyat Palestina, dan di saat tekanan terhadap negara-negara Barat untuk bersikap semakin besar. Dunia maya terbakar oleh tagar pro-Palestina, dan opini publik mulai berbalik arah. Apakah ini respons terhadap tekanan itu? Atau justru strategi untuk mencuri perhatian dan simpati dari dunia Islam?


Saya pribadi punya pandangan lain. Menurut beberapa literatur strategis, dunia saat ini mengarah pada benturan kekuatan antara tiga pilar besar: Bangsa Rum (yang hari ini dapat dikaitkan dengan Rusia dan sekutunya), kekuatan Islam (baik dari negara maupun kelompok transnasional), dan Persia (baca: Iran, dengan pengaruh ideologis dan militernya yang terus tumbuh).

Dalam lanskap ini, Prancis tampaknya mencoba memainkan peran "jembatan" — tetapi bukan jembatan untuk damai, melainkan jembatan untuk posisi tawar. Dengan mendekat ke dunia Islam, khususnya negara-negara di Timur Tengah dan Afrika Utara, Prancis bisa memperluas pengaruh ekonominya, menciptakan pasar baru, mengamankan sumber daya, dan meningkatkan pamor globalnya sebagai kekuatan independen yang “berani” keluar dari garis Amerika Serikat.

Namun, langkah ini tidak tanpa risiko. Pengakuan terhadap negara Palestina secara sepihak telah ditolak mentah-mentah oleh Israel. Beberapa pejabat tinggi bahkan mengancam akan memperluas pendudukan mereka jika Eropa benar-benar mengambil keputusan tersebut. Artinya, Prancis sedang berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.

Sementara itu, di dalam negeri, Prancis menghadapi tantangan besar dari kelompok Muslim. Pemerintah mereka bahkan merilis laporan bahwa Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai ancaman bagi kohesi nasional. Presiden Macron memerintahkan investigasi lebih dalam dan meminta regulasi untuk membatasi pengaruh organisasi ini. Sekali lagi, ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin Prancis mendukung dunia Islam di luar negeri, tetapi secara domestik justru membatasi gerak Islam politik?

Dari sudut pandang saya, ini bukan kontradiksi. Ini konsistensi dalam logika kekuasaan. Ketika Islam menjadi kekuatan di luar Prancis, mereka ingin menjadikannya alat tawar. Tapi ketika Islam menjadi kekuatan di dalam Prancis, mereka ingin mengendalikannya.


Sebagai warga biasa yang hidup jauh dari pusat kekuasaan, saya hanya bisa mengamati. Namun, mengamati bukan berarti pasif. Kita berhak bertanya, menganalisis, dan mempertanyakan narasi yang diberikan kepada kita oleh media dan pemerintah. Kita berhak tidak serta-merta percaya bahwa dukungan Prancis terhadap Palestina benar-benar karena rasa keadilan.

Saya tidak menyangkal bahwa langkah ini bisa berdampak positif jika benar-benar murni. Namun, sejarah telah mengajarkan kita: tidak ada yang murni dalam politik internasional. Bahkan air mata pun bisa dipolitisasi.


Jadi, apa yang sebenarnya direncanakan oleh Prancis?

Saya belum punya jawabannya yang pasti. Tapi saya tahu satu hal: dunia sedang bergerak. Poros kekuasaan sedang berubah. Negara-negara besar mulai memainkan peran ganda, mencoba merangkul banyak pihak tanpa benar-benar berpihak. Dan dalam pusaran ini, umat Islam — sekali lagi — menjadi panggung, menjadi objek narasi, bukan subjek perubahan.

Saya menulis ini bukan untuk menciptakan prasangka. Tapi saya ingin kita semua lebih kritis. Mari jangan cepat terpesona oleh pernyataan "mendukung". Karena sering kali, dukungan hanyalah permukaan dari niat yang lebih dalam.

Dalam dunia yang dikendalikan oleh kepentingan, hanya mereka yang berpikir jernih yang bisa melihat arah angin sebelum badai datang.



إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

#FYI

×
Dukung Saya Beri