Ego, Gaya Hidup Mewah, dan Kebodohan yang Tak Disadari: Refleksi dari Gaya Hidup Branded
Gambaran Umum: Di era media sosial saat ini, citra dan gengsi menjadi salah satu pusat perhatian banyak orang. Tak jarang, demi terlihat elegan dan mewah, seseorang rela mengorbankan logika, keuangan, bahkan identitasnya sendiri. Artikel ini mengajak pembaca untuk merenungi bagaimana ego yang tinggi dalam memburu gaya hidup branded justru dapat memperlihatkan sisi kebodohan yang tersembunyi.
1. Fenomena Gaya Hidup Branded: Saat Penampilan Menjadi Segalanya
Dalam kehidupan modern yang penuh kompetisi, banyak orang berusaha tampil semenarik mungkin di hadapan publik. Salah satu cara yang banyak dipilih adalah dengan memakai barang-barang branded, makan di restoran mewah, atau menampilkan gaya hidup elit di media sosial. Sayangnya, banyak dari mereka lupa akan satu hal penting: apakah semua itu benar-benar sepadan dengan nilai manfaatnya?
"Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Tapi nama baik tak datang dari barang mahal."
Barang mahal tidak selalu identik dengan kualitas tinggi. Banyak produk mewah yang sebenarnya hanya menjual merek (brand), bukan kualitas. Misalnya, sepatu dengan harga jutaan rupiah bisa jadi memiliki kualitas yang setara atau bahkan lebih rendah dari produk lokal buatan tangan pengrajin negeri sendiri.
2. Ketika Ego Mengalahkan Logika
Ego adalah bagian dari diri yang ingin diakui dan dihargai. Namun, ego yang terlalu tinggi sering kali membawa kita pada keputusan yang keliru. Contohnya adalah memilih makan di restoran mewah hanya karena ingin terlihat ‘berkelas’, padahal harga yang dibayar jauh lebih tinggi dari rasa atau manfaat yang didapatkan.
"Lebih baik makan nasi bungkus di pinggir jalan dengan ketulusan, daripada steak mahal di restoran sambil menipu diri sendiri."
Dari gambar yang diunggah di media sosial seperti reels Facebook, kita bisa melihat bagaimana seseorang bisa membayar mahal untuk seporsi makanan yang secara logika tidak sepadan dengan harganya. Apakah ini bukan contoh nyata dari “kebodohan yang dibungkus kemewahan”?
3. Realita Produksi Barang Mewah: Dibuat Murah, Dijual Mahal
Banyak orang tidak sadar bahwa sebagian besar produk branded internasional sebenarnya diproduksi di negara-negara dengan biaya tenaga kerja murah, seperti Tiongkok, Bangladesh, atau Vietnam. Perusahaan besar dari Amerika dan Eropa melakukan outsourcing produksi demi menekan biaya, tetapi tetap menjual produk tersebut dengan harga fantastis.
Ini adalah bagian dari strategi branding dan pemasaran. Yang dibayar oleh konsumen bukan hanya barangnya, tapi juga "gengsi" dan "citra" yang melekat padanya. Ironisnya, semakin banyak yang membeli, semakin besar keuntungan perusahaan – dan semakin terlihat kebodohan kolektif masyarakat.
"Jangan sampai kita menjadi konsumen yang membeli mimpi, bukan manfaat."
4. Gaya Hidup Konsumtif: Investasi atau Ilusi?
Sebagian orang berdalih bahwa membeli barang mahal adalah bentuk investasi. Ini tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak selalu benar. Sebab, tidak semua barang branded memiliki nilai jual kembali. Bahkan banyak yang nilainya langsung turun setelah dibeli, seperti mobil mewah atau pakaian mode terbaru.
Banyak orang terjebak dalam lifestyle inflation – ketika pendapatan meningkat, gaya hidup juga ikut naik tanpa pertimbangan logis. Akhirnya, semua uang habis demi penampilan dan pencitraan, bukan untuk masa depan yang lebih baik.
5. Kebodohan yang Dilegalkan oleh ‘Circle’
Kalimat “terserah yang punya uang” sering digunakan sebagai pembelaan untuk keputusan konsumtif yang tak logis. Namun, ini justru memperlihatkan bagaimana sekelompok orang bisa saling membenarkan kebodohan satu sama lain. Mereka hidup dalam satu kolam bernama gengsi, dan menenggelamkan logika demi validasi sosial.
"Orang pintar belajar dari kesalahan, orang bodoh mengulanginya bersama-sama."
Kebodohan kolektif ini berbahaya karena menjadikan sesuatu yang boros sebagai hal yang wajar, bahkan patut dicontoh. Tanpa sadar, banyak anak muda yang ikut-ikutan, lalu terjerumus dalam utang demi membeli barang mewah yang tak mereka butuhkan.
6. Kebebasan Finansial vs. Gaya Hidup Palsu
Kebebasan finansial bukan soal seberapa banyak uang yang dimiliki, tapi seberapa bijak kita mengelolanya. Orang yang benar-benar kaya tidak perlu menunjukkan kekayaannya lewat barang branded. Justru, mereka lebih memilih kenyamanan, fungsionalitas, dan nilai jangka panjang dibanding label atau merek.
Makan enak tidak harus mahal. Pakaian nyaman tidak harus bermerek. Dan tampil elegan tidak harus menguras isi dompet.
7. Bijak dalam Konsumsi, Cerdas dalam Gaya Hidup
Tujuan dari artikel ini bukan untuk menyindir atau menghakimi. Namun, untuk mengajak kita semua – termasuk penulis – agar lebih kritis dalam menilai gaya hidup yang kita jalani. Tidak semua yang terlihat mewah itu benar-benar bernilai. Dan tidak semua yang sederhana itu berarti miskin.
Kita perlu menumbuhkan kesadaran bahwa kualitas hidup tidak ditentukan oleh merek, tetapi oleh makna dan kebahagiaan yang kita rasakan.
8. Penutup: Mulai dari Diri Sendiri
Untuk melawan arus gaya hidup konsumtif dan ego tinggi, kita harus mulai dari diri sendiri. Mulai dari memilih makan dengan bijak, berbelanja sesuai kebutuhan, dan berhenti mencari pengakuan dari orang lain lewat penampilan luar.
"Hidup bukan tentang siapa yang paling mewah, tapi siapa yang paling damai hatinya."
Dengan begitu, kita akan menjadi manusia yang tidak hanya cerdas secara finansial, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]