Indonesia dan Tantangan Generasi Penerus Bangsa di Era Modern
Indonesia telah merdeka sejak tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima. Artinya, bangsa ini telah berdiri sebagai negara yang berdaulat selama delapan puluh tahun hingga tahun dua ribu dua puluh lima. Perjalanan panjang ini tentu tidaklah mudah. Indonesia berhasil melewati berbagai tantangan mulai dari penjajahan, konflik internal, krisis ekonomi, hingga dinamika global yang berubah-ubah. Namun, di tengah semua pencapaian tersebut, muncul sebuah ironi yang tak dapat diabaikan: semakin bertambah usia kemerdekaan, sebagian aspek kehidupan bangsa justru mengalami kemunduran, terutama dalam hal moral, kedisiplinan, dan kualitas sumber daya manusianya.
Salah satu isu yang mencolok adalah meningkatnya kenakalan remaja, penyebaran perilaku menyimpang, dan makin pudarnya nilai-nilai kebangsaan di kalangan generasi muda, terutama Generasi Z yang kini mendominasi populasi produktif. Generasi ini tumbuh di tengah arus digitalisasi dan globalisasi yang sangat deras. Mereka akrab dengan teknologi, informasi, dan budaya global sejak usia dini. Namun, di sisi lain, kedekatan mereka pada dunia digital kadang menjauhkan mereka dari nilai-nilai lokal, budaya, dan jati diri bangsa.
Fenomena kenakalan remaja seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, konten tidak senonoh di media sosial, dan sikap acuh terhadap pendidikan serta tanggung jawab sosial, merupakan cerminan dari krisis karakter yang sedang melanda sebagian anak muda Indonesia. Belum lagi masalah kemaksiatan yang makin terbuka, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh sejumlah oknum yang seharusnya menjadi panutan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi tidak selalu diiringi dengan kemajuan moral dan etika. Bahkan, bisa dikatakan bahwa secara mental dan sosial, sebagian dari kita tengah tertinggal satu hingga dua dekade dibandingkan dengan negara-negara maju yang sudah lebih dulu menanamkan fondasi kedisiplinan dan integritas sejak dini.
Negara-negara maju seperti Korea Selatan, Singapura, dan Israel telah lama menerapkan program wajib militer sebagai bagian dari sistem pendidikan karakter. Melalui program ini, para pemuda diajarkan disiplin, tanggung jawab, ketahanan mental, dan semangat bela negara. Hasilnya sangat terlihat. Generasi muda di negara-negara tersebut memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi, semangat kebangsaan yang kuat, dan etos kerja yang luar biasa.
Pertanyaannya, apakah Indonesia juga perlu menerapkan program serupa?
Jawabannya tidak sederhana, tetapi patut untuk dipertimbangkan secara serius. Menerapkan wajib militer di Indonesia tentu akan membutuhkan persiapan yang matang, tidak hanya dari sisi anggaran dan infrastruktur, tetapi juga dari segi kesiapan masyarakat dan keberlanjutan program tersebut. Namun, nilai-nilai yang ada dalam program wajib militer—yakni kedisiplinan, kerja sama, kemandirian, dan nasionalisme—adalah hal-hal yang memang sangat dibutuhkan oleh generasi penerus bangsa saat ini.
Jika tidak dalam bentuk militer murni, Indonesia bisa mengembangkan model pelatihan nasional yang berbasis kedisiplinan dan bela negara. Misalnya, melalui program pelatihan karakter wajib selama enam bulan setelah lulus SMA, di mana peserta didik akan diajarkan baris-berbaris, penguatan fisik, kerja tim, manajemen waktu, hingga wawasan kebangsaan. Program ini bisa dikelola oleh institusi sipil yang bekerja sama dengan TNI, lembaga pendidikan, dan komunitas pemuda. Intinya bukan membentuk generasi militeristik, tetapi menciptakan generasi yang tangguh secara mental dan siap menghadapi tantangan masa depan.
Selain itu, perlu ada reformasi besar-besaran dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan bukan hanya tentang pencapaian akademik, tetapi juga pembentukan karakter. Kurikulum harus lebih menekankan pada pembelajaran nilai, keterampilan hidup, pemecahan masalah, dan kreativitas. Sekolah-sekolah harus menjadi tempat yang aman, inklusif, dan mendidik secara utuh—bukan sekadar tempat mengejar nilai tinggi.
Penting juga bagi orang tua dan masyarakat untuk ikut serta dalam membentuk karakter anak muda. Pendidikan karakter tidak hanya tanggung jawab sekolah atau pemerintah, tetapi juga keluarga. Di sinilah peran besar budaya Indonesia yang penuh nilai luhur seperti gotong royong, sopan santun, dan rasa hormat kepada orang tua. Nilai-nilai ini harus terus diwariskan dan diperkuat melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat juga harus menjadi teladan. Saat generasi muda melihat pemimpin atau tokoh masyarakat yang korup, berlaku tidak adil, atau menyalahgunakan jabatan, maka semangat mereka akan runtuh. Sebaliknya, jika mereka melihat contoh kepemimpinan yang bersih, jujur, dan bertanggung jawab, mereka akan terdorong untuk mengikuti jejak tersebut. Karena itu, kualitas pemimpin, pejabat publik, guru, dan semua figur publik sangat penting dalam membentuk mentalitas anak bangsa.
Kita tidak bisa terus berbangga pada sejarah kemerdekaan dan masa lalu. Dunia terus berkembang dengan cepat. Artificial intelligence, perubahan iklim, konflik geopolitik, dan krisis pangan adalah tantangan nyata yang harus dihadapi generasi saat ini. Jika Indonesia ingin tetap bersaing dan tidak tertinggal semakin jauh, maka pembenahan kualitas generasi muda harus dimulai sekarang, secara menyeluruh, dan dengan komitmen kuat dari semua pihak.
Sebagai penutup, delapan puluh tahun kemerdekaan Indonesia seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Sudah sejauh mana kita berkembang sebagai bangsa? Apakah kita sudah cukup tangguh untuk menghadapi masa depan? Apakah kita siap menyerahkan estafet perjuangan kepada generasi muda yang berintegritas, cerdas, dan berjiwa nasionalis?
Tantangan terbesar Indonesia bukanlah kekurangan sumber daya, tetapi bagaimana mempersiapkan manusia Indonesia agar mampu memanfaatkannya dengan baik. Dan untuk itu, kita membutuhkan generasi yang tidak hanya pintar, tapi juga berkarakter. Bila perlu, kita harus berani mengambil langkah berani—seperti menerapkan pelatihan bela negara atau model disiplin lainnya—agar Indonesia benar-benar siap menyongsong masa depan yang penuh tantangan.
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
[HR. Bukhari dan Muslim]