Notification

×

Kategori Tulisan

Cari Tulisan/Kata/Judul

Iklan

Iklan

#faarsyam

WILAYAH YANG BERNAMA ACEH

Rabu, 25 Juni 2025 | Juni 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-25T05:38:59Z

Aceh, entah kenapa, adalah nama daerah yang paling melekat di kepala saya sejak duduk di bangku SD, SMP, hingga SMA. Mungkin karena gurunya sering menyebut-nyebutnya dalam pelajaran sejarah. Mungkin juga karena di buku LKS warnanya selalu pakai merah tebal—kayak dikasih highlight sama sejarah sendiri.

Kalau kita bicara soal pahlawan nasional, Aceh itu ibarat pabriknya. Dari Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Teuku Umar, sampai Laksamana Malahayati—ya ampun, bahkan laksamana laut pertama di Nusantara aja lahirnya di Aceh. Sungguh, kalau waktu itu ada Instagram, bisa jadi Cut Nyak Dhien udah centang biru duluan dan punya podcast bertema "Merdeka atau Mati, edisi ngopi sore."

Dan memang, semangat pantang menyerah rakyat Aceh itu enggak main-main. Zaman Belanda dulu, pas wilayah lain udah banyak yang nyerah atau diajak kompromi, orang Aceh masih bertahan. Mungkin mereka satu-satunya yang berani bilang ke Belanda, “Kalau mau ambil tanah kami, ambil dulu nyawa kami.” Ciee, barisannya kuat banget.

"Aceh adalah satu dari sedikit wilayah yang memberikan perlawanan terpanjang kepada Belanda, bahkan ketika wilayah lain sudah ditaklukkan."
— Kutipan Sejarah Perlawanan Aceh

Lalu, yang bikin Aceh makin diingat publik secara nasional adalah peristiwa tsunami tahun 2004. Bencana yang meluluhlantakkan hampir seluruh wilayah pesisir dan membuat dunia menoleh ke sana. Saya waktu itu masih kecil, dan setiap siaran berita hampir selalu menampilkan suasana Aceh yang penuh duka, doa, dan bantuan. Bahkan sampai negara luar pun turun tangan.


Dan setelah itu, satu lagi hal yang bikin nama Aceh sering masuk koran: GAM alias Gerakan Aceh Merdeka. Ini yang bikin saya penasaran waktu muda. “Kok bisa ada daerah dalam Indonesia yang punya pasukan bersenjata sendiri?” pikir saya. Dulu saya kira GAM itu kayak Power Rangers, ternyata... beda cerita. Tapi bukan berarti semua orang Aceh setuju dengan gerakan itu. Banyak juga yang bilang, itu hanya bagian dari sejarah panjang tuntutan keadilan dan otonomi. Ya, seperti anak kos yang merasa uang bulanan kurang lalu minta kedaulatan finansial dari orang tua.

Aceh juga punya julukan: Serambi Mekkah. Julukan ini bukan tanpa alasan. Gaya hidup masyarakatnya, aturan-aturan lokalnya, dan nilai-nilai keislamannya sangat kuat. Bahkan, kalau kamu ke sana dan bawa pakaian yang agak terbuka, bisa jadi kamu langsung diberi edukasi syariah instan oleh warga sekitar. Tapi tenang, semua masih dalam semangat menghormati budaya lokal.

Dan baru-baru ini—nah ini yang agak bikin tepuk jidat—ada kejadian yang bikin Aceh lagi-lagi jadi pusat perhatian nasional. Salah satu pejabat kita (yang entah baca peta pakai Google Maps atau Waze) salah menyebut wilayah Aceh dan membuat netizen geram. Kok bisa, ya? Itu ibarat bilang rendang itu makanan khas Bandung. Salah lokasi, Bung.

"Seorang pejabat publik semestinya memiliki pemahaman geografis yang kuat sebelum membuka mulut dalam forum resmi. Aceh bukan pulau kecil yang bisa direlokasi pakai Excel."
— Sindiran dari dunia maya yang entah kenapa lebih lucu dari acara komedi

Tapi begitulah, dari zaman dulu sampai sekarang, Aceh sering kali jadi titik sentral dalam berbagai dinamika nasional. Entah itu soal perjuangan kemerdekaan, penegakan syariah, otonomi khusus, bencana alam, atau bahkan debat topografi pejabat. Dan sayangnya, isu-isu ini kadang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk menggoreng isu perpecahan. Klise ya? Tapi selalu laku.

Yang bikin miris adalah ketika segelintir tokoh memakai isu Aceh untuk membangun dinasti politik mereka. “Kita ini rakyat, bukan pion catur, Bung!” Tapi sayangnya, ada saja yang mencoba pakai isu-isu sensitif demi mengerek pamor.

"Banyak yang bilang ingin memperjuangkan Aceh, padahal ingin memperjuangkan nama belakang mereka muncul di surat suara."
— Obrolan warung kopi

Tapi meski begitu, saya percaya rakyat Aceh itu cerdas dan tangguh. Mereka sudah kenyang pengalaman, dan mereka tahu mana yang benar-benar berjuang dan mana yang hanya numpang selfie di panggung politik. Saya yakin, selama warga Aceh tetap menjaga semangat, nilai, dan akarnya, maka tak ada isu perpecahan yang bisa menggoyang mereka.

 “Kami bukan ingin lepas dari Indonesia, kami cuma ingin diperlakukan adil. Jangan cuma datang waktu ada bencana, tapi lupa setelahnya.” Rasanya kayak ditampar pakai daun kelor. Ringan tapi nyess.

Jadi, kalau ada yang bilang Aceh itu berbeda, saya jawab: iya, berbeda dalam keistimewaannya, bukan dalam keasingannya. Aceh itu Indonesia, dan Indonesia tanpa Aceh rasanya seperti nasi goreng tanpa telur—tetap enak, tapi kurang greget.

Dan pesan buat para pejabat, sebelum ngomong di depan umum soal wilayah-wilayah Indonesia, tolong buka Google Maps dulu. Atau minimal, tanya ke anak SD. Mereka biasanya lebih paham peta daripada Anda.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”

[HR. Bukhari dan Muslim]

#FYI

×
Dukung Saya Beri